#GerakanBelanjaDiWarungTetangga

belanja

Saudara, perputaran arus uang di Indonesia adalah yang terbesar nomor-5 di dunia.
Cadangan emas kita berdasar data Antam sekitar 3000 kg dari total 33.000 kg emas dunia. Padahal di Bukit yang di “gali” Freeport untuk menambang tembaga dan emas selama 20 tahun lebih, saat ini masih tersisa 13 juta ton emas.

Kini pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai sekitar 4%. Pembangunan demikian pesat, meski sebagian besar pembiayaannya didapat dari “hutang” luar negeri. Kelas menengah (karyawan) makin banyak, akibatnya perusahaan kredit dan leasing serta pegadaian-pun menjamur. Uang rakyat Indonesia tumpah lagi kepada kebutuhan Sekunder dan tersier berupa; kendaraan bermotor, pakaian dan aksesorisnya (ber-merk), properti komersial (ruko, Apartemen), gadget (Indonesia memiliki jumlah gadget terdata: hampir 500 juta), shopping (kebutuhan “Primer” namun dibelanjakan di Mall (market of all a.k.a Swalayan mewah) dengan kartu kredit), travelling (meski di dalam negeri provider penginapanya seringkali dari asing atau swasta pemilik modal raksasa), kuliner (kebutuhan “Primer” yang berbungkus luxuri pada cafe dan resto kelas atas).
Akibatnya uang rakyat Indonesia “berputar” dari kelas pekerja kembali kepada “pemilik modal”. Populasi pemilik modal ini jumlahnya hanya sekitar 10% dari rakyat Indonesia. Inilah cikal lahirnya dogma: yang kaya makin kaya, yang miskin makin melarat.

Sayangnya arus uang yang deras ini tidak sempat “mampir” ke masyarakat kelas menengah – ke bawah. Akibatnya mereka yang tidak bekerja (karena faktor pendidikan yang kurang, atau masih ber-status menganggur, atau yang ingin idealis menjadi “pengusaha” muda) tidak sanggup BerDiKari (mandiri -red). Seringkali bukan karena kurang “kreatif”, namun karena pemilik uang tadi tidak menyempatkan mampir kepada mereka, atau memang sistem yang ada membuat mereka tidak sanggup “tampil” di panggung perdagangan yang sengit, meski di negeri -nya sendiri.

Sektor properti hampir sama tragisnya, 74% lahan di Indonesia dikuasai oleh sekitar 18% orang saja. Harga tanah dan rumah yang jauh di atas NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) yang ditentukan pemerintah, membuat tanah dan properti Indonesia lagi-lagi jatuh ke tangan “pemilik modal”. Rakyat biasa tidak sanggup memiliki rumah, jikapun sanggup, dari hasil KPR “berdarah-darah” dengan luas rumah petak yang terasa “sempit” bila ditempati ber-tiga atau empat orang.

Maka jangan heran bila bangsa dengan lebih 17000 pulau, lautan terluas di dunia, daratan seluas Amerika, 746 amagram bahasa dan budaya, rumah dari 75% diversitas hayati laut dunia, namun rakyatnya masih banyak yang tidak punya tempat tinggal, atau bertempat tinggal namun sangat tidak layak, bayi kurang gizi bertebaran di berbagai pelosok, angka kematian ibu yang tinggi, masih begitu banyak yang tidak memiliki kakus, sekolah-sekolah hampir roboh jadi berita sehari-hari, Guru digaji dengan jumlah yang amat tidak layak, fasilitas kesehatan dan kesejahteraan tenaga medisnya yang “apa adanya”. Miris. Tapi jangan putus asa dulu. Kita lahir dan besar serta ditaqdirkan bertumpah darah Indonesia. Maka mari benahi “rumah” kita.

Maka saudara, kayanya negeri kita yang paradoks dengan “kesejahteraan” rakyatnya, bukanlah benang kusut yang mustahil di urai. Bilapun pemerintah tidak/ belum bertindak, maka kita yang memahami akar masalahnya, mesti berbuat. Dengan kesadaran akan pentingnya distribusi “kekayaan” demi meratanya kesejahteraan dan kemapanan ekonomi, mari mulai kini kita budayakan “belanja di warung tradisional”. Mereka bisa jadi tetangga kita, saudara kita, istri satpam yang cuma di gaji 500 ribu perak per bulan sehingga mesti membantu suaminya berjualan di rumah atau pasar. Mereka bukan ingin “kaya raya”, melainkan sekedar menyambung hidup. Agar tidak meminta-minta atawa pekerjaan yang meruntuhkan harga diri semacam mengamen seadanya atau joget-joget tak jelas.

Bisa jadi dengan sedikit keuntungan lewat warungnya, saudara sebangsa kita yang hidup sederhana ini jadi berkemampuan menyekolahkan anak-anaknya, sehingga kelak dapat “memutus rantai kemiskinan” yang begitu perih membebat. Bisa jadi dengan sedikit rupiah lewat warungnya mereka dapat menjaga “kesehatan dasarnya” sehingga dapat ber-daya menjaga diri dan keluarganya yang jadi basis ketahanan nasional. Kita tolong mereka dengan kesadaran sebagai satu bangsa. Ubah budaya gengsi kita sedikit saja, untuk ber-empati kepada mereka. Insyaa Allah menentramkan hati, membangun persaudaraan dan persatuan. Serta ibadah membangun “kemandirian” ekonomi rakyat kecil.
Semoga.

– radietya alvarabie

Tinggalkan komentar