Darurat Reformasi Sistem Pendidikan Kedokteran (Ed.II)

Laporan Kasus dari FK (Fak.Kedokteran)Universitas Papua Barat: 2 Bulan Perkuliahan Kedokteran TANPA DOSEN

Sungguh, betapa bidang Kedokteran dan Kesehatan adalah aspek vital dan sangat prioritas bagi sebuah bangsa. Kami mengharapkan betul-betul agar Pemerintah berkenan menaruh perhatian pada sektor ini. Selayaknya perhatian yang besar pada kepolisian-TNI serta perpolitikan negeri ini.

Sistem pelayanan kesehatan kita yang belum optimal, diantaranya karena faktor jumlah tenaga kesehatan dan pemerataannya yang masih terlalu jauh paritasnya. Indonesia, dengan tingkat taraf kesehatan no. 90 di Dunia, memiliki rasio dokter per 1000 populasinya sebesar 0.204. Di sisi lain, Singapura dengan rasio dokter per 1000 populasinya sebesar 1.95 menempati tingkat taraf kesehatan no. 1 di Dunia. Berdasarkan data ini, jelas sudah bahwa: rasio jumlah dokter terhadap populasi “sangat” menentukan kualitas taraf kesehatan masyarakat.

Populasi Indonesia saat ini berada pada angka 254.454.778. Sedangkan, jumlah dokter umum di Indonesia berada pada angka 109.641. Di sisi lain jumlah dokter spesialis yakni: 29.796. Singkatnya bahwa: 1 dokter umum bertanggung jawab terhadap 2.320 orang Masyarakat Indonesia. Sedangkan dokter spesialis bertanggung jawab terhadap 8.540 orang. “Defisit” jumlah dokter ini masih diperparah dengan amat tidak meratanya sebaran lokasi dokter di Indonesia, negeri yang terdiri dari lebih 17.000 pulau ini.

“Gap” rasio jumlah dokter terhadap populasi masyarakat ini, disikapi dengan “menjamur”-nya Fak.Kedokteran “baru”. Namun setelah FK baru tersebut berdiri, selanjutnya bagaimana dengan proses perekrutan termaksud “penggodokan” para calon dokter ini?. Negara mesti turut andil. Mengharapkan panen yang berkualitas dan melimpah, tentunya “lahan”-nya mesti subur dan dirawat. Begitu pula dengan dunia pendidikan, dalam hal ini pendidikan kedokteran. Mesti adil dan profesional. Dokter dengan kualitas macam apa yang kita harapkan? bila sejak awal Negara tidak (atau mungkin belum) serius membentuk sistem pendidikan kedokteran yang mapan.

FK Universitas Papua contohnya; 2 bulan perkuliahan tanpa Dosen. Praktikum hanya menyaksikan Video. Belum lagi laporan dari beragam kampus kedokteran baru; rasio jumlah dosen dengan mahasiswa yang terlalu jauh. Fasilitas perkuliahan yang dibebankan biayanya pada mahasiswa baru. Kondisi ini menyebabkan mahasiswa baru yang terjaring mesti “sanggup membayar” biaya kuliah yang fantastis. Di mana keadilan sosial yang jadi dasar negara kita? Bagaimana kita dapat memperlakukan manusia dengan “beradab” bila kualitas tenaga kesehatan kita lahir dari kondisi kampus yang macam ini?.

Seperti judul tulisan di atas, serta aspirasi yang diserukan dalam aksi damai Dokter Indonesia: “Reformasi Sistem Pendidikan Kedokteran”, perlu segera dilakukan. Bahwa ini tanggungjawab kita sebagai anak bangsa. Pembangunan dan perbaikan bidang Kesehatan dan Pendidikan tidak bisa ditunda. Masyarakat yang sakit dan terseok-seok akibat sistem dan kemiskinanya tidak bisa menunggu lama. Negara harus bertindak.

– radietya alvarabie

Tinggalkan komentar