Kesejatian Cinta Manusia-manusia Langit

Kesejatian Cinta Manusia-manusia Langit

Radietya Alvarabie*

Cinta hanyalah satu dari sekian karunia Allah yang diturunkanNya kepada MakhlukNya. Diri ini, bumi, matahari, dan alam semesta, beserta segenap nikmat yang melimpah, yang bahkan mungkin sering jarang kita sadari ini pun merupakan bentuk cintaNya yang tidak putus-putusnya tercurah.

Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah menyampaikan uraianya mengenai cinta, “Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri, membatasinya justru hanya akan menambah kabur dan kering maknanya. Maka batasan dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri”.

Cinta bukanlah angan-angan kosong dan bualan-bualan tak nyata. Sejarah mencatat perjuangan-perjuangan luar biasa yang ditorehkan manusia-manusia mulia adalah didasari kalimat sederhana yang bernama cinta. Sejarah mencatat mereka hadir di muka bumi ini dengan keberhasilan menampilkan kesejatian cintanya, bukan popularitas, uang, wanita, dan kesemuan dunia yang menjadi dasarnya, namun kerinduan akan ridha Tuhan nya lah yang menjadi penopang energi luar biasa mereka.

Bagaimana bisa seorang Manusia Utusan Tuhan, Muhammad SAW ketika sakaratul mautnya tiba, bukanlah ketakutan yang menghantui melainkan umatnya lah yang dikhawatirkan dan dipanggilnya, atau kisah mempesona dalam sejarah yang bercerita tentang wanita yang rela menukar cinta dan hatinya dengan Islam sebagai maharnya ketika Rumaisha binti Milhan dengan suara lantang menjawab pinangan Abu Thalhah, seorang terpandang, kaya raya, dermawan dan ksatria, ”Kusaksikan kepada anda, hai Abu Thalhah, kusaksikan kepada Allah dan Rasul Nya, sesungguhnya jika engkau Islam, aku rela engkau menjadi suamiku tanpa emas dan perak. Cukuplah Islam itu menjadi mahar bagiku”.

Sejarah tidak hanya mencatat kisah aktris berbakat pemenang oscar, atau kisah musisi legendaris, atau para diktator dengan kekuasaan dan ambisi luar biasa, sejarah juga mencatat kisah-kisah emas bahwa pernah hidup Yusuf as yang teguh menjaga kehormatanya ketika digoda Zulaikha istri Pejabat Mesir yang terkenal kecantikanya, karena takut melanggar perintah Tuhannya, juga pernah hadir Pemimpin luar biasa Umar bin Khattab yang menembus dinginya malam kota mekah yang menusuk, hanya untuk memastikan rakyatnya tidak tidur dalam kelaparan, karena takut menjadi pemimpin yang tidak amanah, atau kisah Bilal bin Rabah, pengumandang adzan pertama dalam Islam yang mempertahankan keimananya walau dijemur ditengah padang pasir yang membakar, dicambuk, dan ditindih batu besar, namun tetap mengucapkan ahad…ahad…(Allah Tuhan yang satu).

Energi luar biasa para pecinta sejati ini diungkap oleh Sayyid Qutb sebagai ”lompatan jiwa yang melebihi energi yang ada. Baginya kehidupan dunia bukanlah segalanya. Ia belokkan gelora yang ada hanya pada penciptaNya yang dengannya syahid menjadi pilihan hidupnya. Tiada mengapa tanpa wanita”. Gelora cinta Makhluk dengan Rabbnya mengajarkan keikhlasan akan sebuah arti penghambaan.

Sedikit menengok kisah Kesayangan Allah, Ibrahim as. Kisah indah dengan luapan mutiara hikmah yang terkenang hingga kini akan kehidupan manusia yang mengedepankan ketundukan dan kepasrahan yang terbalut cinta Ilahi daripada darah daging sendiri yang telah lama diidamkan kehadiranya, untuk menjadi persembahan.

Sudahkah kita mencintai seperti layaknya mereka mencintai?. Sungguh belum layak kita bangga dengan sebutan pecinta sejati bila cinta kita hanya sebatas lisan yang penuh dengan bunga-bunga kata dan angan-angan semu yang memabukan.

Jika memang cinta yang mereka tampilkan begitu mempesona, itu semua bukan hanya karena mereka hamba pilihan Allah, para sahabat, atau para Nabi dan Rasul. Perlu diingat, mereka juga manusia yang mempunyai gemuruh hasrat dan keinginan sebagaimana manusia biasa. Ini menunjukkan kita pun punya potensi yang sama untuk menampilkan kesejatian cinta yang sama dengan mereka para manusia terdahulu yang telah menunjukkan ketinggian akhlaknya.

Pada tiap zaman sejarah mencatat torehan emas yang dituliskan para pecinta sejati yang hidup di zaman itu. Sekali lagi teringat Imam Hasan Al Banna yang mendahulukan iparnya Abdul Karim Mansur untuk diberi pertolongan justru pada saat tujuh peluru masih bersarang ditubuhnya.

Ibnu Taimiyah berkata, ”Mencintai apa yang dicintai kekasih adalah kesempurnaan dari cinta pada kekasih”. Konsekuensinya adalah membenci apa yang dibenci kekasih adalah kesempurnaan dari cinta kepada kekasih. Siapakah yang kita dedikasikan sebagai kekasih? jika itu dunia, harta, popularitas, atau bahkan wanita, maka dangkal sekali makna kalimat ini. Kesejatian cinta hanya akan hadir bila segala energi dan pengorbanan dilandasi atas kecintaan kepada Tuhan, tempat kita kembali, Yang memelihara diri ini, Yang melimpahkan segenap nikmat. Dan menundukkan kecintaan kepada selainNya karena ia hanyalah kenikmatan sesaat yang hanya hadir di dunia yang tidak selamanya ini.

Ini lah sekelumit kisah sejati para manusia yang pernah hadir di bumi yang berhasil menorehkan kemuliaan amal yang menjulang ke langit. Mereka, yang kita sebut, manusia-manusia langit, menjadikan dunia hanya sebagai tempat persinggahan sementara dan bukan lah tujuan akhir, wajar saja bila mereka telah berhasil menampilkan kemurnian cinta yang terlepas dari noda motif popularitas, harta, dan kekuasaan.

Saini KM menggambarkan kesemuan dan ketidakabadian cinta dunia dengan sajaknya,
“Sesungguhnya siapakah kita ini kekasihku?
Hanya setitik debu melekat di bintang mati.
Menggeliat sejenak karena embun dan matahari
Hanya sedetik dalam hitungan tahun cahaya”.

Sapardi pernah mengungkapkan ketinggian hasrat cinta dengan bait-baitnya;
Aku ingin,
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Sedangkan Islam mengajarkan menampilkan kesejatian cinta dalam untaian doa rabithah yang dibaca Muhammad SAW;
”Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta kepadaMu.
Telah berjumpa dalam taat kepadaMu.
Telah bersatu dalam dakwah kepadaMu.
Telah berpadu dalam membela syariatMu.
Kokohkanlah Ya Allah ikatannya, kekalkan cintanya.
Tunjukilah jalan-jalannya.
Penuhilah hati-hati ini dengan cahayaMu yang tiada pernah pudar.
Lapangkanlah dada-dada kami dengan limpahan keimanan kepadaMu dan keindahan bertawakal kepadaMu.
Nyalakanlah hati kami dengan makrifat kepadaMu.
Matikanlah ia dalam syahid di jalanMu.
Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong”.

*Sekretaris Umum-Dewan Eksekutif Pusat-Forum Ukhuwah lembaga Dakwah Fakultas Kedokteran Indonesia (FULDFK)

Inspired by Episode Cinta
Author: Abu Saifulhaq Asaduddin
Editor: Abu Aufa

Mind, Moral, Make